Setidaknya mari kita telaah berbagai pemikiran dan distorsi atau bahkan resultan dari telaah pemikiran (Filsafat) dan Hati ini, sejak suatu jaman terkenal, yaitu jaman Yunani Sofisme Kuno yang terkenal dengan Filsafat Relativisme (Pluralis) Sofistik Yunani Kuno pra-Masehinya yang paling menonjol dari masa itu selain Filsafat Atomis Yunani. Kata ”Sofia” itu sendiri berarti ”berpikir” dalam bahasa Latin Yunani ini.
Permulaan pemilihan masa telaah ini juga sesuai dengan pembagian telaah jaman yang umum saat ini (sesuai pembagiannya oleh bangsa Barat yang mendominasi ilmu-pengetahuan saat ini).
Masa Yunani Kuno ini antara lain bertokohkan Filsuf Thales (624-546 SM), Anaximander, Parmanides, Gorgias, Zeno, Socrates, Plato, Aristoteles, Ptolemeus, Galen, Hipocrates, Euclides, dsb. Masa ini kemudian juga menjadi salah satu inspirasi Renaissance Barat berabad-abad kemudian setelah Masa Abad Pertengahan (Medieval), dalam melawan kebodohan masa Abad Pertengahan.
Walaupun sudah jamak pula kebiasaan orang dalam berpikir kritis di masa Yunani Kuno ini, namun secara umum inti dari pemikiran-pemikiran Filsafat Sofistik Yunani Kuno mereka adalah ”relativitas pemikiran”, atau yang disebut juga sebagai, Filsafat Relativisme (Pluralis).
Filsafat Relativisme (Pluralisme) ini, adalah paham yang berdasarkan pemikiran dasar bahwa "Kebenaran itu sesungguhnya (adalah) relatif”.
Maka karenanya pula, ”seluruh versi kebenaran dapat saja menjadi benar”, yang dalam hal ini bahkan masih pula bergantung kepada pemikiran, perasaan, hawa nafsu, dan lain-lain, dari para pemikirnya; manusia, tentu saja.
Dan di beberapa Abad kemudian, khususnya di masa kini di Abad XXI Masehi ini, ini juga menjadi salah satu inspirasi dasar gerakan Pluralisme. Termasuk juga dalam Pluralisme Agama bahwa semua agama itu benar, semua agama mengajak ke Surga, semua versi Tuhan adalah benar, maka Tuhan dapat dicapai melalui agama manapun, karena kebenaran itu sebenarnya relatif.
Juga Liberalisme, dengan prinsip kebebasan berpikirnya yang berlebihan (apdahl kemampuan berpikir manusia itu terbatas terutama karena hanya berdasarkan apa yang masuk ke alam pemikirannya saja) termasuk dalam aneka eksperimennya, yang didengung-dengungkan kaum Liberalis, Sekuleris, Pluralis, Spiritualis, Fremasonry, dan sebagainya, entah untuk apa.
Kemungkinan menelaah dan menggunakan alam semesta dengan menggunakan akal yang ternyata terbatas kemampuannya itu, menjadi menarik, bagi kaum ini, dan mereka menggunakannya untuk memahami segala hal.
Sementara Pluralisme Budaya adalah sangat patut didukung (asalkan tak bertentangan dengan syariat dari Allah Tuhan Semesta Alam) dan adalah fitrahi (alami), konsekuensi wajar dari sunnatullah dan karenanya juga adalah adanya berbagai suku-bangsa, namun beberapa pendapat dari kaum ini antara lain mengatakan bahwa Agama itu (hanya) adalah produk budaya, alias buatan (pemikiran dan fantasi hawa nafsu) manusia (dan Setan), karenanya semua agama itu relatif kebenarannya dan bahkan semua agama itu (dapat saja) benar, alias Pluralisme (kebenaran) Agama. Hal terakhir ini adalah satu hal yang sangat tak perlu didukung, apalagi diamalkan, bagi muslim.
Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sebab dari Filsafat, adalah pemikiran akan alam semesta, dan segala hal yang berkaitan dengannya.
Maka, misalnya yang terkenal, dalam hal ini, adalah perdebatan di antara mereka sendiri, kaum pemikir-filsuf di masa Yunani Kuno itu, tentang apa sesungguhnya isi dari alam semesta, yang notabene lebih didasarkan kepada sangkaan dan pemikiran menurut mereka secara ‘bebas’ (dengan kata lain juga, lebih-kurang, adalah dengan ‘liar’), tanpa banyak mengindahkan petunjuk aturan dari Tuhan.
Kiranya ini juga dapat telah terjadi karena tak cukup ada ilmu-pengetahuan di masanya, sebagai pembanding-penguji kebenarannya, maka pemikiran dapat menjadi liar, rusak, dan merusak. Dan manusia serta lingkungannya pun tak pelak turut menjadi rusak. Kebijaksanaan, atau hikmah, tentu saja, diperlukan dalam menyaringnya.
Dan Agama di masa ini, adalah Agama yang mempercayai banyak tuhan, alias Politeisme, dengan aneka Dewanya.
Masa sebelum (Pra) Sokrates
Ras atau bangsa Yunani merupakan bangsa yang dikenal sejarah kini sebagai yang termasuk yang pertama kali berusaha menggunakan akal secara luas untuk berpikir, selain berbagai bangsa (di wilayah) lain. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani. Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.
Perlu pula diingat bahwa Mesir, Mesopotamia, Persia, Cina dan India, adalah juga berbagai pusat peradaban besar dunia di jaman Kuno, bersama Yunani, yang dikenal manusia sekarang,
dengan tidak mengesampingkan kemunginan pusat peradaban lain yang disebutkan dalam legenda (yang belum dapat dibuktikan) tentang Atlantis.
Hal kebebasan berpikir ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan atau mengklaim bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Klaim atau argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phytagoras (572-500 SM) yang belum murni rasional. Sekte atau Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos (mengenai biji kacang itu).
Ada tiga filsuf dari kota Miletos di masa Pra Socrates ini yaitu Thales, Anaximander (Anaximandros) dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximander berpendapat “To apeiron” atau yang tak terbatas, sedangkan Anaximenes menunjuk ke udara.
Thales juga berpendapat bahwa Bumi ini terletak di atas air. Tentang Bumi, Anaximander mengatakan bahwa Bumi ini persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan, ia berpendapat bahwa semua makhluk hidup berasal dari air, dan bentuk hidup yang pertama adalah Ikan. Dan manusia pertama itu tumbuh dalam perut Ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagad raya. Udara di alam semesta, adalah ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Filsuf berikutnya yang cukup perlu diperkenalkan, ditelaah, adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah, pertama, bahwa jiwa itu menurutnya tidak dapat mati. Menurutnya, sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati, jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari Reinkarnasi itu. Kedua, dengan penemuannya akan interval-interval (jarak) utama dari berbagai nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya, segala-galanya di jagad raya ini adalah berupa bilangan. Ketiga, mengenai Kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagad raya bukanlah Bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.
Sejaman dengan Pythagoras ada Filsuf Yunani yang bernama Heracleitos di kota Ephesos dan ia menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Heracleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur adalah "Pantarhei kai uden menei", yang artinya adalah bahwa semuanya di dunia ini mengalir, dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.
Filsuf Yunani pertama yang disebut sebagai peletak dasar Metafisika adalah Parmanides. Parmanides berpendapat bahwa “yang ada itu memanglah ada, dan yang tidak ada itu memanglah tidak ada“. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah bahwa “yang ada” itu:
1) satu dan tidak terbagi,
2) kekal, tidak mungkin ada perubahan,
3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya,
4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos.
Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf Monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja.
Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf Pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Filsuf Empidokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat Rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empidokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama.
Pluralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa Realitas terdiri dari sejumlah tak terhingga Spermata (benih). Berbeda dari Empidokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api itu adalah (berkualitas) panas dan air itu adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku, menurutnya, dapat tumbuh dari daging.
Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nous yang berarti roh atau rasio. Nous tidak tercampur dalam benih-benih, dan Nous ini mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "yang ruhani" dan "yang jasmani".
Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis. Filsafat Atomis (Atomisme) mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos (atau sesuatu yang terkecil yang tak dapat dibagi-bagi lagi). Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom itu tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmanides bahwa atom-atom tidak dijadikan dan kekal. Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong.
Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai hasil interaksi antar atom itu. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya, dan sebagainya.
Masa Athena
Hampir bersamaan dengan masa Filsafat Atomis, muncul para Filsuf yang mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam semesta, ke arah pemikiran tentang manusia sendiri. Para Filsuf ini disebut sebagai kaum Sofis (Sophis) yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM). Menurutnya, segala fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia. Ia mengklaim manusia sebagai ukuran kebenaran dengan istilah “homo mensura”.
Kaum Sofis berpendapat bahwa manusia menjadi ukuran kebenaran. Maka menurut mereka tidak ada kebenaran yang berlaku secara universal, kebenaran itu hanya berlaku secara individual alias relatif. Mereka menggunakan retorika, berbagai argumen, alasan, sebagai alat utama untuk mempertahankan kebenaran. Tidak adanya ukuran kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta kepercayaan dan doktrin agama diabaikan. Filsafatnya disebut Filsafat Relativisme (Sofisme Yunani Kuno).
Keseenak-klaiman Kaum Sofis mendapat imbangannya dalam diri seorang alim (berilmu) yang disebut para pemerhati-penggemar Filsafat sebagai guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher of all time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Socrates tidak menerima kepercayaan yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya Tuhan adalah tunggal. Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu kebenaran yang dapat diterima setiap orang, kebenaran sesungguhnya, yang sejati.
Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato (429-348 SM), muridnya. Bagi Plato, kebenaran umum itu memang ada; namanya adalah Idea atau Ide. Maka dalam Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah realitas yang tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak menciptakan sesuatu dari yang tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut “Dzat Primordial” yang berisikan seluruh unsur asli alam. Selanjutnya, muncul Aristoteles (384-322 SM) yang meyakini Tuhan yang monoteistik (Satu Tuhan atau Tauhid) dan meyakini kekekalan jiwa manusia. Sampai periode ini, agama dan filsafat sama-sama dominan di Yunani.
Maka dalam buku ”Filsafat Umum” oleh Prof. Ahmad Tafsir (banyak sumber penulisan tentang berbagai macam Filsafat di naskah ini berasal dari buku ini pula), contoh telaah pemikiran relatif dari Filsafat Relativisme Sofistik Yunani adalah:
Klaim Thales tentang alam semesta, dalam menjawab pertanyaan ”Apakah isi alami dari alam semesta?” Jawabannya karenanya adalah, ”Air! ”.
Klaim Anaximander tentang pertanyaan yang sama, yang adalah bahwa, “Substansi pertama, yaitu udara, telah ada dengan sendirinya”.
Klaim Heracleitos bahwa, “Berdasarkan intuisi(nya), alam (itu) selalu berubah”.
Di luar klaim ini, ada tokohnya yang lain yang bernama Parmanides, yang bersandarkan kepada pemanfaatan logika dan deduksi logis (primitif).
Sementara itu, Filsuf yang bernama Zeno, masih menekankan pada telaah Filsafat Relativisme dan karenanya mengaminkan Relativisme kebenaran.
Tokohnya yang mungkin paling terkemuka adalah Socrates (384-322 SM).
Socrates dapat dikatakan adalah seorang moralis yang tidak sepenuhnya mendasarkan diri pada Akal, namun juga membangun pemahamannya melalui eksplorasi Hati, dan ia tidak mau percaya pada relativitas kebenaran.
Maka Socratespun menegaskan bahwa, “Tidak semua kebenaran relatif, melainkan ada kebenaran sejati secara umum atau obyektif”.
Di sini, Socrates telah selangkah lebih maju daripada rekan-rekan sejawatnya, mencoba menelaah alam dan potensinya dengan lebih seimbang.
Dia, menurut kaum Filosof Barat, lebih religius. Bahkan ada yang berspekulasi bahwa Socrates adalah seorang Nabi. Wallohua’lam.
Murid Socrates, Plato, adalah pencetus Filsafat Teosentris atau Platonisme, yaitu sebuah pemahaman bahwa semuanya berpusat kepada Tuhan, dan kebenaran itu karenanya, sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan. Dia pun, seperti gurunya, semakin religius.
Paham Platonisme ini di kemudian hari, di masa Filsafat Kristen, menjadi dasar bangsa Barat (Kristen) dan para Filsuf serta aliran Filsafatnya untuk mengklaim tentang kemutlakan kebenaran ajaran agama mereka (penjelasan tentang ini semua ada di bagian Filsafat Abad Pertengahan) dengan segala argumentasinya.
Bahkan kaum Apologetik yang senang mencari berbagai macam cara untuk membenarkan klaim mereka, misalnya kaum Apologetik Gereja, senang bermain-main di antara berbagai paradigma pemikiran, sayangnya tanpa banyak menyadari kiranya, bahwa tak ada pemikiran manusia yang sempurna.
Tokoh Filsafat Sosisme Yunani yang menonjol kemudian, Aristoteles, amat dipengaruhi metode yang kemudian disebut sebagai metode Sistematis Empiris yaitu metode yang mendasarkan keyakinannya hanya kepada pengalaman yang dialami,
23
dalam menelaah sesuatu. Penganut paham ini, tak akan mau mempercayai apapun, tanpa mengalaminya terlebih dulu.
Hal ini, di kemudian hari berabad-abad kemudian, juga menjadi dasar paham yang mengedepankan logika (saja) dalam menelaah apapun, misalnya, paham Rasionalisme, Materialisme, dan tentu saja, Empirisme (penjelasan tentang ini semua ada di bagian Filsafat Modern dari naskah ini), yang menggali inspirasinya antara lain dari Filsafat Yunani Kuno ini, sesudah muak akan kungkungan akan potensi akal pada Masa Abad Pertengahan di bawah kontrol Gereja.
Di masa ini, terutama di Yunani Kuno, yang dipentingkan secara umum adalah penggunaan Akal, walaupun Agama (telaah Hati yang dalam hal ini adalah versi mereka), juga ada.
Dapatlah dikatakan karenanya, bahwa dalam masa ‘perang’ berkepanjangan antara Akal dan Hati sepanjang sejarah manusia, pemanfaatan Akal (walaupun secara dominan masih relatif menurut klaim pemikirnya masing-masing), dianggap menang pada masa itu. Pemanfaatan akal dominan di masa ini, namun tetap tidak menjamin kebenaran, karena adanya kecenderungan kepercayaan bahwa kebenaran itu relatif (yakni akibat dari Filsafat Relativisme masa Sofis Yunani Kuno itu).
Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi. Dan kebenarannya masih relatif, terserah masing-masing pemikir, relatif a la Relativisme, secara rata-rata, kecuali pada Socrates dan muridnya, Plato yang yakin akan adanya kebenaran yang sebenarnya.
Dan di masa ini, kita ketahui, juga dipenuhi aneka Mitologi Yunani, termasuk akan aneka makhluk aneh, jejadian, ghaib, beserta Dewa-dewanya, alias paham dan Filsafat Politeisme (percaya akan banyak tuhan dan beribadah kepadanya). Ini menjadi masalah cukup besar di kemudian hari.
0 Response to "FILSAFAT YUNANI KUNO"
Post a Comment